Wednesday, May 14, 2008

BUSARA MERAJALELA

Aku tidak menyangka kota sebesar Semarang masih ada BUSARA (Buta Aksara). Salah satu contoh ada di desa Jabungan. Berdasarkan informasi dari teman kepala sekolah MI di sana, 60% warga usia 40 tahun ke atas buta aksara.

Tidak heran jika orangtua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak kepada sekolah. Bagaimana mereka dapat membantu anak belajar di rumah jika abcd pun tak bisa terbaca. Oleh karena itu sekolah tak bisa berharap banyak untuk “memintarkan” anak didiknya seperti halnya harapan pemerintah.

PKBM ( Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat ) kemudian menjadi alternatif pembelajaran yang tak sempat mereka enyam. Belajar dengan anak kelas 3 SD sebagai gurunya bukan pemandangan aneh dalam PKBM. Benar jika orang Jawa mengatakan “Kebo Nusu Gudel”.

Mereka yang menjadi fasilitator PKBM harus rela dibayar dengan kata terimakasih maturnuwun. Kalaupun ada nilai lebih itu pun sekadar hantaran hasil bumi para pembelajar. Demonstrasi menuntut kenaikan pangkat / gaji yang terlintas sama sekali. Kalaupun ada kemana dan kepada siapa. Keikhlasan sebagai wujud pengabdian kepada masyarakatlah benteng kokoh landasan. Mereka menyadari bahwa harus ada panglima yang berada di garis depan melawan Buta Aksara dan buta-buta lainnya.